Minggu, 12 Juni 2016

Pendapat

Mengapa Tionghoa Selalu Identik Dengan Agama Buddha dan Konghucu?

- Karena banyak kebiasaan atau tradisi Tionghoa yang mirip atau bahkan sama dengan Agama Buddha dan Konghucu. Kebiasaan atau tradisi yang sama itu adalah sembahyang kepada leluhur. Dalam Buddha juga ada kebiasaan itu yaitu melakukan pelimpahan jasa untuk leluhur dengan membacakan paritta-paritta.
Pada masa orde baru etnis Tionghoa merupakan penganut mayoritas Agama Buddha dan Konghucu. Keadaan itulah yang menciptakan stereotype bahwa orang Tionghoa merupakan Buddhis atau Konghucu. Walaupun pada jaman modern ini hal tersebut sudah tidak sesuai karena tidak semua Tionghoa menganut Agama Buddha atau Konghucu dan tidak semua penganut Agama Buddha atau Konghucu merupakan orang Tionghoa.


Perlukah Konghucu Menjadi Agama? Jelaskan Alasannya!

-Suatu kepercayaan atau ajaran diakui sebagai agama sebetulnya tidak begitu penting. Karena selama kepercayaan atau ajaran tersebut tidak sesat (menyimpang) dan para pengikutnya yakin akan kepercayaan atau ajaran itu maka tidak perlu dipermasalahkan. Dalam Konghucu, ajaran-ajaran yang dipraktikkan tidak menyimpang, memiliki nabi, dan juga kitab suci. Jadi merupakan suatu hal yang sah-sah saja untuk dijadikan suatu agama. Jika diakui sebagai agama maka akan memberikan suatu identitas resmi bagi para pemeluknya.

Resensi Buku "Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Terkaya di Indonesia"



Judul Buku  :  Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Tekaya di Indonesia
Penulis  :  Agnes Davonar (Agnes dan Davonar)
Penerbit  :  AD Publisher
Jumlah Halaman  :  310 halaman
Tahun  : 2010
Jenis Novel  :  Semi Autobiografi


Oei Hui Lan terlahir dengan kemewahan dan kehidupan yang sempurna. Ayahnya, Oei Tiong Ham adalah seorang pria terkaya di Asia Tenggara yang mendapat sebutan "raja gula" asal Semarang. Suaminya, Wellington Koo merupakan politikus handal, ia menjabat sebagai menteri luar negeri China yang ikut serta dalam pembentukan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Ibunya yang sangat ambisius berhasil membawanya bergabung dengan jet-set di Eropa yang sejajar dengan keluarga kerajaan Eropa.
Perjalanan hidup Oei Hui Lan bagaikan sebuah kisah telenovela yang tidak pernah berhenti dengan konflik, perselingkuhan, dan tragedi kehidupan lainnya. Sang ayah yang tiba-tiba meninggal, menyisahkan warisan yang menjadi petaka diantara 8 istri dan 42 anak yang dilahirkan. Warisan yang seharusnya membawa berkah berubah menjadi pertikaian yang mungkin tidak akan berhenti hingga saat ini.

-----------------------------

Dalam novel yang mengisahkan tentang perjalanan Oei Hui Lan yang inspiratif ini, kita mendapatkan hikmah atau amanat yang cukup besar. Harta yang berlimpah dan ketenaran bukan merupakan segalanya serta tidak mampu membeli sebuah kebahagiaan sejati seseorang. Rasa kasih sayang, bersyukur, dan loyal adalah kunci dari kebahagiaan tersebut.
Kekurangan dari novel ini hanya terletak pada kesalahan mengetik atau typo yang menjadi gangguan bagi pembaca untuk menikmati kisah Oei Hui Lan ini.

Resensi Film "Ngenest"



Judul Film : Ngenest
Produser : Chand Parwez Servia dan Fiaz Servia
Sutradara : Ernest Prakasa
Penulis : Ernest Prakasa
Pemeran : Ernest Prakasa, Lala Karmela, Morgan Oey, Kevin Anggara, Brandon Salim, Ferry Salim, Olga Lydia, dan Ge Pamungkas
Produksi : Starvision
Durasi : 91 menit
Tanggal Rilis : 30 Desember 2015

--------------------------------------------------------------


Ngenest merupakan sebuah film komedi yang menceritakan seorang pria bernama Ernes,seorang keturunan Tionghoa yang sering di ejek dan juga dibully oleh teman-temannya sejak SD dan membuatnya merasakan beratnya kehidupan. Menjadi korban bully membuatnya bertekad pada keturunannya agar nanti tidak mengalami hal yang sama. Untuk itu dia ingin menikahi wanita pribumi dengan harapan agar anaknya nanti tidak mengalami kemalangan yang ia alami.

Terlahir dengan mata sipit merupakan kerugian bagi Ernest. Sejak hari pertama di SD dia langsung di bully dan diejek teman-temannya. Hal tersebut berlanjut hingga SMP, ia sudah mencoba berbagai cara untuk tidak dibully namun semuanya gagal. Ia memutuskan untuk menikahi wanita pribumi tetapi ditentang oleh sahabatnya, Patrick.
Saat kuliah, Ernest mengenal wanita bernama Meira, seorang sunda/jawa yang seiman dengannya. Masa perkenalannya berjalan lancar hingga pada akhirnya ayah Meira menolak anaknya berpacaran dengan Ernest yang keturunan Tionghoa. Namun akhirnya Ernest berhasil meluluhkan hati ayah Meira.
Setelah menikah, ternyata Ernest memiliki sedikit kekuatiran. yaitu apabila kelak anak mereka terlahir persis sang ayah. Bagaimana bila ia tetap gagal mencegah anaknya dari ejekan teman temannya. Segala ketakutan ini membuat Ernest menunda-nunda keinginan memiliki anak. Di sisi lain, Meira yang sudah didesak orangtuanya juga, ingin segera memiliki anak. Setelah melalui berbagai pertengkaran, akhirnya Ernest mengalah karena takut kehilangan Meira. Dua tahun setelah menikah, Meira hamil.
Semakin membesar perut Meira, semakin besar rasa takut yang menghantui Ernest. Puncaknya ketika Meira sudah mendekati tenggat melahirkan, tekanan semakin tinggi, Ernest pun stress sehingga melakukan kesalahan besar di kantor yang membuatnya dimaki oleh boss. Tidak kuat menghadapi tekanan bertubi-tubi, Ernest melarikan diri ke tempat di mana ia dan Patrick biasa bersembunyi selagi mereka kecil.
Akhirnya Patrick menemukan Ernest di sana, dan menyadarkan Ernest untuk segera ke rumah sakit. Dengan terbirit-birit, Ernest berangkat ke RS dan menemani Meira melahirkan. Meira pun melahirkan seorang bayi perempuan bermata sipit. Meski anaknya tampak sangat Cina seperti ayahnya, tapi Ernest sangat bahagia. Kehadiran anaknya telah memberinya begitu banyak kehangatan yang membawa keberanian untuk menghadapi hidup, walaupun hidup ini banyak tantangannya.




-------------------------------------------

Film ini bisa mengajarkan banyak orang yang masih sering melakukan diskrimanasi terhadap warga keturunan Tionghoa.
Kata "pribumi" dan "Tionghoa" sebenarnya sudah tidak lazim lagi digunakan di jaman sekarang karena tidak sesuai dengan era modern di Indonesia sekarang ini. Pribumi maupun Tionghoa saat ini adalah sama-sama warga negara Indonesia dan wajib saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Film ini bisa dikatakan berhasil karena mengemas isu-isu sosial yang ada dan membuatnya menjadi film yang bagus dengan tambahan alur-alur komedi yang ada.

Resensi Film "?" (Tanda Tanya)



Judul Film  :   ? ( Tanda Tanya)
Sutradara  :  Calerina Judisari
                      Hanung Bramantyo
Penulis  :   Titien Wattimena
Pemeran  :   Reza Rahadian
                    Revalina S. Temat
                    Agus Kuncoro
                    Endhita
                    Rio Dewanto
                    Hengky Sulaeman
                    Deddy Sutomo
Penyunting  :   Cesa David Luckmansyah
Distributor  :   Mahaka Pictures
                        Dapur Film
Tanggal Rilis  :   7 April 2011
Durasi  :   100 menit


--------------------------------------------------------

"?" atau Tanda Tanya merupakan sebuah film yang mengisahkan tentang keberagaman agama dan toleransi di sebuah daerah di Semarang, Jawa Tengah. Pertemanan dan konflik bersatu padu di daerah yang memiliki kelenteng, masjid, dan gereja dengan letak yang berdekatan, mereka semua berhubungan satu sama lain.

Hendra (Rio Dewanto) sangat mudah terpancing emosi saat dibilang “Cina” oleh orang-orang yang hendak pergi ke masjid, sehingga sering terjadi tawuran. Menuk (Revalina S. Temat) yang bekerja di rumah makan milik ayah Hendra, Tan Kat Sun (Hengky Sulaeman). Menuk sering bertengkar dengan suaminya, Soleh (Reza Rahadian) yang merupakan pengangguran. Walaupun Soleh sangat taat beragama, ia minder karena tidak dapat bertanggungjawab atas keluarganya. Bahkan Soleh meminta agar Menuk menceraikannya.
Rika (Endhita) adalah janda beranak satu yang baru saja pindah agama. Dirumahnya, Rika mendirikan took buku. Tidak jarang Rika di cemooh oleh tetangganya karena ia adalah janda dan karena ia pindah agama. Tidak hanya tetangganya, anaknya Abi (Baim) juga sering protes. Namun Rika tetap berpegang pada pendiriannya. Doni (Glenn Fredly) adalah teman gereja Rika. Doni berusaha mendekati Rika namun Rika tidak menanggapi Doni meskipun mereka seiman. Rika malah merasa lebih nyaman dengan Surya (Agus Kuncoro) yang akhirnya menjadi pacar Rika.

Karena Hendra tidak menerima nasibnya yang ditinggalkan oleh Menuk yang akan menikah dengan Soleh yang pengangguran, ia selalu membuat peraturan yang tidak toleran. Padahal selama ini ayahnya selalu menjaga keharmonisan pegawainya dan lingkungan sekitar restoran yang mayoritas Muslim. Sementara itu, Soleh yang tadinya pengangguran akhirnya mendapatkan tugas untuk menjaga keamanan gereja pada malam natal.

------------

Film ini merupakan suatu cerminan untuk Indonesia karena melalui film ini kita bisa melihat dan menilai seberapa jauh kita bisa mentoleransi adanya perbedaan yang bisa dikatakan banyak ini terhadap sesama warga negara Indonesia.
Semua yang ada di film ini sudah sangat baik dan terlihat sangat nyata.
Namun, karena tema yang diangkat merupakan hal yang sangat sensitif, ini menjadikan film ini terlihat buruk. Padahal film ini dapat mengajarkan kita cara bertoleransi yang akhirnya akan menimbulkan kesejahteraan di masyarakat itu sendiri.

Minggu, 08 Mei 2016

RESENSI FILM “THE LAST CONFUCIAN”



Judul               : The Last Confucian
Genre              : Dokumenter & Sejarah
Produser         : Kurniawan Biantoro
Sutradara        : Kurniawan Biantoro
Durasi             : 23 menit
Produksi          : Blissvideo Production
Tahun              : 2011


Film dokumenter ini menceritakan tentang kisah hidup pria penganut Agama Konghucu, Cheng Sin. Cheng Sin tinggal bersama istri dan 7 anaknya di sebuah desa di Tangerang. Sudah 57 tahun Cheng Sin bersatu dengan Konghucu dan selalu berusaha menjadi teladan untuk orang-orang disekitarnya agar menghormati leluhur. Namun perasaan itu tidak dirasakan oleh ketujuh anaknya, mereka lebih memilih beragama Buddha. Hal tersebut tidak terlepas dari keadaan politik saat itu.

Walaupun keadaan politik saat ini sudah berdamai dengan penganut Konghucu, bagi  Cheng Sin tetap ada hal yang ia rasa sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Cheng Sin saat ini hanya bisa berusaha terus menapaki jalan Konghucu serta hidup sesuai dengan ajaran Konghucu.

Menurut saya, hanya sedikit kekurangan yang ada dalam film dokumenter ini, yaitu tidak adanya reka ulang adegan tentang bagaimana pelarangan-pelarangan yang dilakukan terhadap penganut Konghucu.
Film ini sangat saya rekomendasikan untuk pecinta film dokumenter yang memiliki unsur-unsur kebudayaan dan penasaran tentang penganut Konghucu dimasa lalu.